Jangan-jangan ia Natizen, bukan pengamat, ngakunya kayak orang pintar.
Tangerang, postjkt.com
Pemberitaan mengenai pembangunan jamban yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tangerang, Banten, semakin mengundang polemik, kamis (01/08).
Para wartawan desak oknum pengamat abal-abal Tangkap, karena sudah memberikan statmen yang ngawur dan kayak orang mabok.
Kini sudah membuat gaduh di ruang maya, dan di internet dan media sosial (Medsos).
Jangan-jangan ia Natizen, bukan pengamat, ngakunya kayak orang pintar.
Jika hal ini di minta perkumpulan wartawan dan organisasi tangkap oknum pengamat abal-abal.
“Kami minta Pengamat Abal-abal itu, dosen apa izajahnya masalahnya harus di buktikan hasil pengamatnya jangan buat gaduh”, katanya Wartawan Senior.
Pengamat itu tahu ga, media itu induknya kemana? Media itu induknya keperusahaan bukan induk Dewan Pers, keperusahaan pers ia berinduk.
Selagi Ia mempunyai Perusahaan (PT) maka ia tidak abal-abal, karena PT. itu induknya pada pemerintah, ia bayar pajak dan sesuai ketentuan menteri keuangan.
Kalau Pengamat Abal-abal itu induknya kemana? Kejaksaankah, ke Presidenkah, atau Ke KPK? yang jelas seorang pengamat itu harus mendapatkan sertifikat dari Peguruan tinggi, sekurang-kurangnya ia dosen.
Bukan tamat SMP, SMA atau SD. Kami minta pada aparat polisi di tangkap dan di proses sesuai undang-undang ITE dan undang-unadng Siber”, tutur Samsudin, SH, MH aktivis dosen.
“Kalau Ia mempunyai izajah SD, SMP dan SMA itu disebut Natizen, bukan pengamat”, katanya.
Pengamat sekurang-kurangnya Dosen karena ia berpikirnya leluasa ia tak ada kepentingan pribadi, ia memberikan penerus bangsa.
Menurut Samsudin, SH, MH, bahkan yang disebut-sebut sebagai Pengamat Politik pun mulai ikut nimbrung menjadi ‘pengamat jamban’, tapi terkesan ngelantur dan bahkan menghakimi konteks di balik pemberitaan pembangunan jamban oleh Kejaksaan tersebut.
Menurut Pesta Tampubolon selaku Ketua DPD Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO-I), seorang pengamat itu harus bijak dan luas wawasannya dan tidak asal nyerocos apalagi sampai menyebut media sebagai media abal-abal.
“Kalau hanya berdasarkan suatu media tidak terdaftar di Dewan Pers disebutnya media itu abal-abal, berarti sang pengamat itu kurang jauh pikniknya dan sangat sempit pengetahuanya mengenai UU Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pers, dianya tapi terlampau sembrono bicara,” Tegas Pesta Tampubolon, Rabu (31/7/2024).
“Sama saja pengamat itu menuduh, bahwa Ketua Dewan Pers yang sekarang dijabat Ibu Ninik Rahayu sebagai ketua Dewan Pers abal-abal.
Karena beliau sendirilah yang mengatakan, ‘setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk ke Dewan Pers’. Hal itu dinyatakan Ninik Rahayu dalam keterangan resminya, tanggal 4 bulan April 2024 lalu,” jelas Pesta.
Lanjutnya, gara-gara pengamat itu sembarangan mendiskreditkan menuduh media abal-abal, akhirnya makin ketahuan SDM dan kredibilitas pengamat itu memandang fungsi peran media dari sudut pandang sempit.
Harusnya sebagai pengamat, katanya, dia mesti sadar bahwa nama beliau itu dibesarkan oleh media tanpa memandang kelas media yang memberitakan dia.
Tapi itu lah, tambahnya, orang pintar belum tentu bijak.
“Sudah banyak pengamat politik ternama di Indonesia ini sering saya lihat tampil di Media Televisi besar Nasional, namun belum pernah saya dengar nada bicarannya seperti itu berani melecehkan media.
Memang sekarang ini makin banyak orang pinter makin keblinger,” katanya.
Masih menurutnya, kalau patokannya hanya karena suatu media tidak terdaftar di Dewan Pers, dituding menjadi media abal-abal, berarti ujarnya, kita juga bisa berseloroh menyebutnya sebagai pengamat abal-abal dalam tanda kutip.
“Ini harus dipertegas kepada pengamat tersebut, apa kualifikasinya sampai dia berhak mengelompokkan sebagai media abal-abal dan tidak abal-abal.
Sedangkan Ibu Ninik Rahayu saja yang nota bene sebagai Ketua Dewan Pers tidak pernah menyebutkan bahwa media yang tidak terdaftar di Dewan Pers tidak pernah disebutkannya media abal-abal,” ujarnya.
Sementara itu, adapun jaminan kebebasan pers di Indonesia merupakan bentuk pelaksanaan UUD 1945 Pasal 28 telah mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul dengan bunyi selengkapnya sebagai berikut:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Adapun landasan kebebasan pers di Indonesia ditegaskan kembali dengan lahirnya UU Nomor 49 Tahun1999 dengan berbagai pertimbangan pembentukan sebagai berikut, salah satunya yaitu:
Pers nasional adalah wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dari pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
(Budi)